Interstellar of Kumar

Juni 13, 2015

Sudah lebih dari 1/3 manusia dipindahkan ke Planet Edmund (ya karena planet ini ditemukan dan diteliti oleh Dr. Roberto Edmund). Planet Edmund ini adalah salah 1 planet baru mirip bumi yang ditemuka Dr. Edmund pada tahun 2719, atau 34 tahun yang lalu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tata surya kita, hanya sekitar 12 tahun cahaya. Planet Edmund ini mengorbit mataharinya sendiri di tata surya mereka sendiri, mataharinya sendiri oleh manusia dinamakan Sun-2G (2G disini mungkin artinya generasi kedua, entahlah).

Dr. Edmund telat meneliti planet temuannya selama 2 tahun bumi, yang berarti hanya 7 bulan di planet itu. Dia dan timnya yang terdiri dari 5 orang meneliti banyak hal disana, mulai dari hal yang mendukung kehidupan manusia seperti air tumbuhan dan segala macam tetek bengek lainnya. Dan entah bagaimana, kondisinya cukup layak ditempati Homo sapiens ini.

Maka, dimulai dari 5 tahun lalu manusia mulai berpindah ke planet itu, karena bumi sudah benar-benar hancur lebur seperti bubur yang gosong karena terlalu lama dimasak (emang bisa ya...). Perjalanan kesana sendiri menggunakan Pesawat IM-19 generasi ke-7 yang merupakan pesawat tercanggih saat ini, yang bisa membawa kita kesana dalam waktu 4 bulan saja.


**********

Ah iya, namaku Kumar, aku tak bisa menuliskan nama lengkapku disini karena kalian pasti akan mengejeknya. Jadi Kumar saja. Aku orang India, tapi lahir di Gorontalo, sebuah kota di Pulau Sulawesi yang jauh disana.

Ayahku adalah salah seorang pilot pesawat luar angkasa paling berbakat yang pernah dimiliki NASI (National Aeronautics and Space Administration of India), setidaknya itu yang pernah dikatakan oleh Profesor Pravin 2 Minggu lalu kepadaku. Dia telah sering nyetir roket ke planet lain, dengan pendaratan yang lembut seperti bantal baru, kata para wisatawan antar-planet. Ayahku sendiri sudah 2 kali mengantarkan manusia ke Planet Edmund, tapi keluarganya sendiri belum diajak kesana...

Alasan keluarga kami menunda keberangkatan itu adalah, Ayah ku tidak bisa berhenti memikirkan kebun binatang nya di New Delhi. Dia cemas terhadap kondisi binatang di kebun binatang kami itu. Ayahku pernah mengantarkan 3 ekor unta ke Planet Edmund, tapi setelah tiba disana unta itu tiba-tiba bisa mengeong dan pandai berenang layaknya ikan marlin. Dia tidak mau binatang nya berevolusi se-ekstrim itu.

Tapi akhirnya setelah berpikir panjang lebar, dan berdiskusi dengan Ibuku yang pecinta kura-kura mata 3 itu, Ayahku akhirnya mau membawa seluruh binatang nya ke Planet Edmund, tapi dengan pesawat khusus untuk keluarga kami, dipisahkan dari manusia lain yang ingin juga berangkat ke Planet Edmund. Ayahku sendiri rencananya akan membuka kebun binatang baru di Planet Edmund, kabarnya ia sudah memesan tanah di kota Newest Delhi.

Akhirnya kami berangkat, memakai pesawat khusus keluarga kami, tidak lupa binatang untuk kebun binatang kami disana. Roketnya tidak terlalu besar, tidak sebesar Pesawat IM-19 Generasi-7 yang dapat menampung seluruh warga Kabupaten Warsawa. Pesawat kami adalah tipe CBR-04 yang khusus mengangkut binatang, kelemahannya sering berisik jika digas terlalu kuat.

**********

Sudah 2 bulan kami sekeluarga disini, persediaan makanan untuk keluarga kami mulai berkurang dan Ayahku tetap setia memberi makanan kepada para binatangnya. Kabarnya kucing hutan dari Madagaskar yang langka itu sekarang sudah punya sayap yang entah datang dari mana.

Suatu hari, aku bosan, ingin melihat-lihat luar angkasa seperti yang biasa aku lakukan jika bosan disini. Aku izin memakai pesawat kecil (yang sebenarnya untuk darurat, tapi tak apalah) untuk melihat-lihat sekitar, pesawat itu masih dikaitkan ke pesawat utama sehingga aku tak akan terlepas. Waktu itu aku hanya sendiri saja, semua keluargaku sudah tidur.

Tiga menit aku ada disana, semua tampak indah seperti biasa, banyak bintang dan galaksi terlihat dari kaca pesawat kecilku. Sampai...

Sebuah komet besar menghantam pesawat utama, yang juga melepaskan tali pengait dari pesawat kecilku ke pesawat utama. Dan pesawat utama itu, yang berisi keluargaku, terbawa komet itu, entah kemana, entah kemana.

Aku tidak percaya.

Aku sendirian.

Dan tiba-tiba saja aku menangis.

Mencubit diriku, berharap ini semua hanyalah mimpi bodoh karena terlalu lama berada di sini.

Bukan, ini bukan mimpi.

Komet sialan itu benar menabrak pesawat keluargaku, dan hewannya. Dan aku sendirian disini. Di pesawat darurat. Tidak tau harus berbuat apa. Tidak tau sampai kapan. Tidak tau apa-apa. Sesaat, aku merasa tidak berguna.

Aku hanya terdiam.

Semua ini tampak seperti hal tidak nyata yang terlihat nyata.

**********

Beberapa hari aku disana, aku mulai mencari alat apa aja yang ada di pesawat ini. Mulai dari cadangan makanan, buku petunjuk sampai bagaimana cara menyambungkan pesawat ini dengan gelombang radio planet terdekat (aku harap aku sudah dekat dengan Planet Edmund).

Tapi yang kutemukan tidak pernah kusangka.

Seekor kucing anggora berbulu putih-emas keluar dari dek kecil di bawah, sepertinya nyasar di pesawat itu dan tertidur disana. Aku harap dia baik dan tidak berevolusi. Tapi ternyata, mulutnya bisa mengeluarkan api dan kemampuan mengaumnya mengerikan. Selama beberapa lama aku mulai menjaga jarak dari kucing itu, takut-takut dijadikan santapan siang kucing anggora yang berevolusi di luar angkasa.

Beberapa waktu aku menghindari dia, tapi beberapa waktu kemudian aku sadar, aku membutuhkan dia, tapi aku tidak membutuhkan dia. Terdengar seperti wanita remaja memang, tapi aku juga tidak mengerti. Aku merasakan rasa syukur karena tidak sendirian di sini, setidaknya seekor kucing yang sedikit gila ada disini, tapi di sisi lain aku mengeluh kenapa kucing itu bisa mengeluarkan api.

Sekitar 17 hari setelah peristiwa itu, aku menemukan sebuah planet, entahlah tapi semoga saja ini planet. Dilihat dari atas, sepertinya ini tidak bisa ditinggali dan aku hanya boleh melihat-lihat disini. Yah, jadi begitu, dengan buku panduan, aku mendarat, walau tidak selembut Ayahku dalam hal mendaratkan pesawat.

Aku berkeliling planet itu, kucing itu juga entah pergi kemana. Aku menamakan dia Richard Parker, diambil dari salah 1 tokoh kartun hari Minggu favoritku. Ya benar, tidak banyak hal yang bisa didapat dari planet itu, tapi setidaknya aku bisa tidur 1 hari disitu, pohon yang ada disitu cukup nyaman walaupun aku jadi gatal-gatal. Untung ramuan dari makanan anjing di pesawat itu bisa membantuku menyembuhkan gatal sialan itu.

Aku pergi dari planet itu esoknya. Richard Parker belum juga nampak. Aku senang, awalnya ingin meninggalkan Richard Parker di planet ini. Tapi, entah kenapa, aku memanggil dan mencari-cari Richard Parker. Aku mulai merasa tidak bisa hidup tanpa dia sekarang. Aku rindu dia, segila apapun dia, sepanas apapun api yang keluar dari mulutnya, aku merasa lebih baik hidup dengan kucing gila daripada sendirian disini.

Setelah beberapa lama, Richard Parker pun dapat kutemukan. Kondisinya kucel, bulunya kehitaman sedikit. Aku langsung menggendongnya dengan unyu-unyu awkward, dia sudah mulau terlihat nyaman dengan ku, walau jujur tangan ku terasa panas waktu menggendongnya, mungkin efek api.

*********

Entah sudah berapa bulan aku di pesawat ini bersama Richard Parker. Dia sudah terlihat kurus, persediaan makanan kucing sudah habis, makanan anjing dan gajah masih ada sedikit, syukur dia mau makan walaupun aku lihat dia memuntahkannya lagi di belakangku. Setiap hari, aku membelainya, mengajak nya ngobrol walaupun balasannya hanya "Meow" atau api dari mulut. Tidak apa-apa, ini lebih baik daripada harus mengobrol dengan gambar kucing di wadah makanan kucing.

Beberapa Minggu kemudian, secara ajaib aku menemukan sinyal Planet Edmund, Tuan Jonathan yang pertama kali menangkap sinyal pesawatku. Aku berbicara dengan lemah dengannya. Aku diarahkan untuk mendarat darurat, di Kota Sacrimental, dekat Oldest Zealand.

Tapi karena lelah, aku mendarat secara asal. Pesawatku hancur, untung aku selamat. Aku diselamatkan 2 penduduk setempat, dan segera dibawa ke Rumah Sakit.

Aku tidak melihat Richard Parker. Aku takut dia mati waktu mendarat tadi.

Tapi akhirnya ia keluar dari pesawat. Ia selamat, bulu putih emasnya yang kucel lucu masih menempel di tubuhnya.

Ia pergi, berjalan begitu saja. Tanpa menoleh kepadaku.

Aku berteriak "RICHARD PARKERR!!"

Dia tidak menyahut, dia memang berhenti sebentar tapi tidak menoleh padaku.

Dua orang yang membawaku membuat Richard Parker semakin jauh denganku. Akhirnya aku ikhlaskan dia.

Dia pergi, tanpa mengucapkan salam perpisahan.

Pertemuan dan perpisahan adalah hal biasa yang terjadi pada manusia. Tapi yang paling perih adalah saat perpisahan terjadi, dan kita belum mengucapkan ucapan selamat tinggal.

You Might Also Like

0 komentar