Elegi

Juni 29, 2016


Wanita itu terlihat gelisah. Sesekali membetulkan kerudungnya. Aku sama gelisahnya dengan dia, melihatnya dari jarak kurang lebih 2 meter dari tempatnya duduk. Kakiku berat. Aku malah merasa seperti ada paku yang menancap di kakiku dengan tanah. Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundakku perlahan.

"Semuanya pasti baik-baik, Sayang. Pasti baik-baik." Aku hanya mengangguk tanpa menoleh pada sumber suara. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Mencoba mengumpulkan kembali keberanian yg tadi sempat terserak saat melihat kegelisahan perempuan itu.

Siapapun akan merasakan gelisah saat akan bertemu seorang perempuan yg hadir di tengah-tengah pernikahannya. Perempuan yang diharapkan tak pernah ada di lapisan dunia manapun. Perempuan itu aku. Dan aku mulai melangkah menuju perempuan yg gelisah itu untuk menjelaskan banyak hal. Semuanya harus dijelaskan saat ini. Tanpa kecuali.

"Selamat siang, Mbak Ranti?" suaraku sedikit bergetar namun lebih terdengar pilu daripada gugup.

Dia menoleh. Matanya sendu menatapku. Dia mengangguk pelan.

"Silahkan duduk, Mbak Atarisa."

"Maaf membuat Mbak menunggu."

"Panggil saja saya Ranti, mbak."
aku pun mengangguk. Usianya memang dua tahun dibawahku.

Hening.

"Ranti, saya tidak akan meminta kamu memaafkan saya atau kamu pun boleh membenci saya tapi saya ingin sekali menjelaskan apa yg sebenarnya terjadi."

"Mbak.. saya heran. Mbak perempuan dan sudah menikah pula. Apa yang sebenarnya ada di pikiran, Mbak?"

Dia mengatakan itu dengan sedikit terdengar emosi namun dia masih sangat baik sekali mau memelankan suaranya.

"Disini saya tidak akan mencoba membela diri karena dilihat dari sudut manapun saya memang bersalah namun Ranti tolong dimengerti bahwa saya sudah berusaha untuk menjauhi suamimu. Bahkan lebih dari puluhan kali. Tapi..."

"Jadi Mbak mau banggain diri Mbak kalau Bang Rendi yang mengejar-ngejar Mbak?" sinis.

"Ini sama sekali bukan perkara tentang siapa yang mengejar dan dikejar. Ini sama sekali tidak sesederhana itu, Ranti."

***

Ada sesal yang berkecamuk di dadaku. Mengapa aku memilih hari ini untuk menjelaskan semua? Mengapa aku memaksa Bang Rendi mengantarku untuk menemuinya sekarang? Aku sungguh-sungguh belum siap, tapi apakah aku akan siap bila ini ditunda? Rasanya takkan kunjung siap walaupun ku undur pertemuan ini besok, lusa, minggu depan maupun tahun depan sekalipun. Tatapannya yang menelanjangiku seperti menanyakan sebenarnya apa yang kumiliki yang membuat Bang Rendi melihatku dibanding wanita lainnya yang mungkin dianggap memiliki penampilan yang lebih mumpuni.

Teringat ketiga buah hatiku yang menantiku di rumah. Si sulungku, Nisa, yang sudah menginjak usia remaja tadi melepasku dengan tatapan khawatir. Walau tidak pernah kuceritakan namun Nisa sepertinya tau apa yang terjadi antara aku dan Bang Rendi. Anak keduaku Rama yang baru saja naik kelas 2 SMP yang selalu menanyakan kapan ia akan diajak jalan-jalan lagi oleh Bang Rendi kali tadi tampak marah menatap punggung Bang Rendi. Sementara si bungsu Raya dalam gendongan Nisa berusaha menggapaiku.

Mengingat ketiganya menguatkan hatiku untuk menyelesaikan ini semua segera.

"Ranti sayang..." ah..mengapa suara yang keluar dari mulutku tidak seperti yang aku inginkan? Menjadi serak dan berat. Kutarik nafasku dalam-dalam, kembali kukumpulkan keberanianku yang berserakan agar dapat kusampaikan maksud kedatanganku.

"Sungguh tak ada sedikitpun yang dapat kusombongkan didepanmu. Justru kebodohan dan ketidakberdayaanku yang membuatku sampai di hadapanmu hari ini."

Kembali kuterdiam, dibalik kobaran api kemarahan Ranti di matanya kulihat kepedihan mendalam yang lagi-lagi menusuk hatiku. Haruskah kuceritakan atau kukatakan saja ini kesalahpahaman?

*****

Jakarta 7 tahun lalu, Rendi bergegas menuju rumah sang kekasih Atarisa. Ada kabar gembira yang ingin dia sampaikan. Rumah itu yang menjadi tujuan Rendi bertempat di kawasan elit ibukota. Yang tinggal di sana adalah para pejabat dan konglomerat ternama. Dan sekarang Rendi berhenti di salah satu rumah berpagar tinggi dan bercat hijau. Di kejauhan banyak suara petasan berdentangan, memang dalam beberpa hari Ibukota ini akan berulang tahun berisik pikirnya, tapi bukan itu yang Ia pedulikan sekarang. Ia memencet bel berkali-kali. Wajahnya sumringah tak sabar ingin bertemu dengan si empunya rumah. Pencetan ke tiga, pak satpam datang dan bertanya keperluannya. “Atarisa ada pak?” tanyanya tak sabar. “Oh nak Rendi, masuklah.” Pak satpam membukakan pintu.

Di depan rumah Atarisa sudah menunggu sang kekasih dari tadi langsung memeluknya. “Aku tidak bisa lama-lama.” ujar Rendi. “Aku harus pergi satu jam lagi” lanjutnya. Atarisa hanya bisa mengangguk sambil menangis. Dia tahu mereka akan berpisah lama, tapi dalam hati Ia merasa tak rela. Namun menjadi Pasukan Khusus TNI adalah cita-cita Rendi sejak lama dan Ia harus mendukung keinginan sang kekasih walau itu memisahkan mereka. Rendi melepas pelukannya pada Atarisa dan menatapnya dalam. “Aku tahu aku tidak akan melihatmu dalam waktu yang lama, setidaknya dalam 2 tahun kedepan. Tapi aku yakin kalau kita di takdirkan bersama jadi Atarisa... Maukah kau menungguku?” Rendi berlutut dan membuka kotak cincin dihadapan sang kekasih. Anggukan kepala Atarisa dan tangis bahagianya adalah bayangan terakhir yang dia ingat sebelum pergi kemudian semuanya gelap.

***

Jam weker berbunyi dan waktu menunjukkan jam 5 pagi. Kali ini bayangan mimpi itu semakin jelas, Ia tahu ia mengenal wajah itu tapi siapa. Pertanyaan itu selalu menyeruak di kepalanya siapa wanita dalam mimpinya itu. Kali ini setelah hampir 5 tahun mengalami mimpi yang sama berulang-ulang, akhirnya Ia ingat satu nama Atarisa. Ia tak tahu dari mana Ia tahu nama itu yang jelas nama itu berhubungan dengan wanita dalam mimpinya dan hatinya merasa dia dan nama itu mempunyai hubungan yang erat tapi apa. Ia melangkah ke teras, suasana pagi di tempat ini selalu membuatnya terpukau walaupun sudah hampir 5 tahun juga Ia tinggal disini. Saariselka, Finlandia adalah tempat tugasnya beberapa tahun lalu. Perang melawan militan ISIS dibawah bendera PBB adalah tugas pertamanya waktu itu.

Ia hanya ingat perang berlangsung sengit di padang salju. Kemudian dia sadar dan sudah dirawat di RS setempat dengan diagnosa gegar otak dan patah beberapa tulang. Dokter yang merawatnya waktu itu masih muda dan keturunan Indonesia. Ia yakin karirnya sudah tamat waktu itu, depresi selama beberapa bulan dan selalu mimpi buruk adalah makanannya. Namun dokter tersebut tetap meyakinkannya bahwa Ia masih bisa dan akan bisa pulih seperti sedia kala. Tahunan menjalani terapi hingga bisa seperti sekarang, Ia merasa sangat berterima kasih sudah bertemu sang dokter, dan sekarang..

Satu pelukan hangat dari belakang membuyarkan lamunannya di pagi yang sejuk. “Hai pagi sayang”, ujarnya. “Ah aku merasa senang sekali hari ini” wanita itu memeluknya manja. “Ini kan berkatmu juga, aku bisa kembali bertugas” sahut Rendi. “Kau sudah siap? Penerbangan kita dua jam lagi.”lanjutnya.

“Halo bapak dan ibu Wibawa, siap untuk kembali ke Indonesia?” ujar petugas KBRI dengan ramah. “Saya boleh cek lagi identitasnya ya”. “Baiklah atas nama Rendi Wibawa dan Ranti Valerie Wibawa, yak silahkan”. Pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Indonesia pun mulai membelah awan. Selama penerbangan Rendi selalu menatap jauh keluar jendela, istrinya Ranti sudah terlelap sejak tadi. Pikirannya melayang mengenai wanita yang selalu hadir dalam mimpinya. Ia merasa ada janji yang harus di tepati namun apa, tetapi sekarang Ia punya nama untuk memulai mencari tahu dan itu adalah Atarisa.

****

Pesawat Kolang-Kaling Air mendarat di Bandar Udara Cengkareng pukul 4 sore hari itu, saat ini Jakarta sedang hujan yang membuat hawa menjadi dingin-dingin menggemaskan. Rendi turun dari pesawat bersama Ranti dengan kondisi kelelahan karena tidur sepanjang 6 jam perjalanan, dan hanya bangun untuk menikmati bubur sumsum yang entah bagaimana disediakan oleh pramugari pesawat tersebut yang Rendi pikir mirip sekali dengan Manohara.

Pasutri itu pun langsung bergegas ke rumah orang tua Rendi terlebih dahulu, Jalan Kelapa Gading II. Rencananya mereka berdua akan menginap di rumah orang tua Rendi selama seminggu sebelum benar-benar pindah ke Bandung, dimana rumah mereka sudah disiapkan, di Jalan Parang Jati No. 21, daerah Sukajadi. Saat ini mereka kelelahan walau sudah tidur dari tadi. Penyakit Rendi membuat ia ringkih dan tidak bisa bergerak banyak, jadi kerjaan Ranti hanya menjaga agar Rendi tidak berkelakuan seperti anak kecil, supaya sakitnya gak kambuh lagi.

Di Bandung sendiri Rendi sudah dapat pekejaan, kantornya sendiri berlokasi di sekitar Dago, yang tidak jauh dari rumah mereka. Rendi sendiri rencananya mulai masuk pada bulan Agustus, 3 Minggu setelah Lebaran yang akan Rendi dan Ranti rayakan di Jakarta. Sebagai pasangan muda yang baru datang ke Indonesia setelah lama di luar negeri, mereka tentu sama semangatnya seperti saat gebetan ngajak kita candle light dinner, ditraktirin pula.

***

Ini hari ketiga Rendi bekerja di kantornya di Jalan Dago. Belum ada masalah besar sampai sejauh ini, semua tampak baik dan menyenangkan. Atasan, teman-teman, wifi ngebut, perpustakaan yahud, makanan sekitar kantor, sampai tukang pisang aroma yang baik hati membuat Rendi tampaknya akan betah berlama-lama di kantor, tapi sekali lagi ia teringat Ranti, istrinya di rumah yang pasti sudah menunggu ia pulang dengan hidangan makan malam yang tak kalah yahud dengan soto babat Kang Suhendar dekat kantornya.

Sekitar 3 bulan setelah ia bekerja, ia mulai merasakan ada yang aneh. Bukan soal wastafel toiletnya yang sering mati dan bukan juga soal kenapa harga pisang aroma naik 500 Rupiah, tapi soal seseorang. Ia seperti mengenal orang itu, tapi ia juga seperti tidak mengenalnya. Dia wanita. Meja kerjanya dekat dengan Rendi dan bahkan ia bisa memerhatikan wanita itu sepanjang waktu, karena ia penasaran, karena ia "Asa inget ngan teuing saha" kalo kata orang Sunda mah. Perasaan aneh ini membawa ia akhirnya memaksakan diri untuk akhirnya menyapa basa-basi ala om-om kantoran.

"Eh revisian lo belom selesai ya? Mau dibantuin gak?"

"Ohh iya gapapa makasih dikit lagi juga beres kok"

"Ohh gitu ya hehehe, nama kamu siapa?"

Rendi pun berpikir kok kayak kenalannya anak SMP ya. Hangat-hangat pitabokeun.

"Aku Atarisa, kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Pernah kok, kemaren kita ketemu waktu lagi ngantri bayar soto babat Kang Suhendar kalo kamu inget"

"Wah? Aku kok gak liat kamu ya hahaha"

AHA !! Atarisa namanya. Dia tiba-tiba teringat akan kenangan masa lalunya, sebelum ia berangkat keluar negeri di bawah panji PBB. Cedera kepala yang dialaminya membuat dia melupakan Atarisa, dan kini satu antrian di soto babat Kang Suhendar membuat akhirnya luka lama terbuka kembali.

Luka lama? Iya, Atarisa akhirnya menikah dengan Hendri karena gak tahan nunggu Rendi yang gak pulang-pulang dari Finlandia, padahal itu udah tahun ketiga Rendi di luar negeri. Rendi pun sakit hati dan sempet nangis waktu mau nembak musuh, sampe-sampe anak kecil ngelus-ngelus rambut dia di medan perang. Tapi karena hidup terus berjalan, akhirnya ia move-on dan menikah dengan Ranti, istrinya sekarang, yang ia temui waktu pesta makan malam di KBRI Helsinki. Ranti adalah wanita periang, takwa, sporty dan pandai membaca huruf Hieroglif. Itu semua adalah ciri-ciri yang dimiliki Atarisa, kecuali kemampuan membaca huruf Hieroglif, karena Atarisa adalah wanita yang pandai menulis indah sampai Piala Juara 1 Menulis Indahnya waktu ia SD dan SMP pun sudah cukup dibikin museum.

Lama kelamaan, Rendi dan Atarisa akhirnya dekat, dan Atarisa pun baper lagi, pikir Rendi. Mereka berdua sama-sama sudah menikah, bahkan Atarisa sudah beranak tiga, dimana mereka semua lucu-lucu dan membuat Rendi selalu kangen dengan mereka. Rendi sendiri belum dikaruniai anak sampai saat ini. Omong-omong, suami Atarisa saat ini bekerja di perusahaan tambang di Lampung, yang membuat suami Atarisa hanya bisa pulang sebulan sekali. Ingin sekali Rendi melihat wajah Hendri, ingin sekali ia tersenyum dan mengelus-ngelus wajah Rendi untuk kemudian menampar Hendri karena sudah merebut Atarisa.

Tapi saat pikiran itu melintas, ia segera berucap Astagfirullah dan memohon ampun pada Allah karena memikirkan yang nggak-nggak ke suami orang.

*lah itu elo deket ama istri orang kok gak istigfar sob*

Nahas, hubungan terlarang ini diketahui Ranti. Ranti pun gundah gulana mengetahui Rendi dekat dengan teman kantornya, akhirnya ia berkeluh kesah pada Rendi dan menyuruh Rendi menceritakan semuanya. Rendi menceritakan dengan terus terang saat sebelum bertugas, saat ia melamar Atarisa, saat Atarisa akhirnya menikah dengan Hendri, dan beberapa kenangan nonton layar tancep bareng bersama Atarisa. Walau terbakar api cemburu, tapi Ranti tetap tenang sambil berdzikir, dan menyuruh Atarisa datang ke rumah, Ranti pun berjanji tidak akan marah-marah, bahkan akan menyediakan nastar buatan Ibunya untuk Atarisa seorang.

*dan ya kalian baca aja bagian awalnya*

***
*sudut pandang Atarisa.*

"Ini sama sekali bukan perkara tentang siapa yang mengejar dan dikejar. Ini sama sekali tidak sesederhana itu, Ranti."

"Aku gak peduli, Mbak. Mbak kan bisa baca sendiri di Al-Quran dan Al-Hadist bahwa Allah dan Rasul melarang keras kita untuk merebut suami atau istri orang lain. Dan teganya Mbak melakukan itu pada saya, saya gak nyangka loh Mbak padahal Mbak berjilbab, harusnya Mbak memberi contoh buat orang-orang, apalagi buat anak-anak Mbak, masa mau bikinin jus wortel buat anak Mbak aja perlu pake jasa suami saya."

"Ranti coba denger saya dulu..."

"TIDAK BISA !!"

*di bagian ini Atarisa kaget karena Ranti menggebrak meja, Ranti pun sebenarnya kaget*

"Mah tenang aja deh katanya gakan marah" kata Rendi sambil main Clash of Clan di HP-nya, seakan bodo amat akan hal yang penting yang terjadi karena ulahnya.

"Iya iya maaf, sakit juga mukul nih meja huhuhu. Tapi ya gimana bisa tenang pahh gile ya lu, coba deh kamu ngerasain apa yang aku rasain"

Rendi pun terdiam, seakan-akan ada malaikat yang tiba-tiba diutus oleh Allah untuk melakban mulut Rendi, ia pun melanjutkan main Clash of Clan di HP-nya.

"Tapi Mbak intinya denger penjelasan saya dulu. Saya ini emang sempet dilamar sama Bang Rendi sebelum dia pergi, tapi karena dia gak pulang-pulang dari tugasnya dan selama 3 tahun juga gak ada kabar, akhirnya saya nikah sama Mas Lantip karena beneran deh Mbak saya juga bingung dan khawatir sama Rendi waktu itu, dia udah nikah lagi apa gimana. Eh sekarang kan saya tau akhirnya dia nikah lagi. Tapi jujur Mbak dia yang pertama kali ngajak saya kenalan di kantor, dia yang seakan membuka luka lama itu"

"Lantip? Bukannya kata Rendi suami Mbak itu Hendri ya?"

"MAMPUS DAH KENAPA ABIS BATRE SIH INI ELAH" kata Rendi tiba-tiba, mengagetkan Atarisan dan Ranti.

"AYAH JANGAN BERISIK DONG, NANTI MALEM GAMAU TIDUR DI LOTENG LAGI KAN?" kata Ranti emosi pada Rendi.

"Eh iya maap Mah, ini kesel batre HP papah abis padahal lagi seru-serunya"

"Ah iya, Hendri siapa ya? Setau saya Hendri itu tukang galon deket rumah orang tua saya di Pemalang" kata Atarisa melanjutkan percakapan yang sebelumnya berhenti.

"Yah sini deh, dia kok bilang suaminya Lantip?" kata Ranti pada Rendi, emosinya mulai menurun dan mereka berdua mulai dilanda kebingungan.

"Loh bukannya kamu nikah sama Hendri ya? Aku inget kok dulu kamu ngasih surat ke aku lewat KBRI Helsinki" kata Rendi.

"Eh bukan kok sejak kapan aku nikah sama Hendri. Suamiku Lantip kok. Dan, KBRI Helsinki? Iya sih aku ngirim surat ke KBRI, tapi perasaan bukan ke Helsinki deh, tapi ke KBRI Mogadishu di Mongolia sana" kata Atarisa, yang akhirnya sama bingungnya.

"Lah kok ngaco, aku kan kerjanya di Finlandia dulu. Eh kamu Atarisa Nur Mayasari kan?" kata Rendi.

"Siapa? Salah kali, aku Atarisa Kamilia Putranto."

"Walah" kata Rendi.

"Salah orang ya" kata Ranti.

"Hehe" kata Rendi.

"Kamu Rendy Maskur kan?" kata Atarisa.

"Matamu Maskur, aku Rendi Wibawa"

"Oh, salah juga ya? Aku kira kamu Rendy Maskur. Jadi kamu siapa dong?" kata Atarisa, yang berpotensi membuat kang baso depan rumah Ranti pun ikut bingung jika nimbrung obrolan mereka.

"Aku temen kantormu"

"Iya tau, tapi kok kamu bukan Rendy Maskur ya? Coba aku liat muka kamu dulu"

"Heeyy genit Mbak ya, di bawah kursi aku ada raket nyamuk yang batrenya baru ganti tadi pagi loh"

"Wey wey santai Mbak."

Atarisa pun memerhatikan wajah Rendi sejenak.

"Ohh iya, Rendy yang aku maksud ada tompelnya di bibir bagian kanan, kamu gak ada. Tapi sumpah mirip banget sampe pangling aku, kirain kamu operasi penghilangan tahi lalat di Mongolia hahaha" kata Atarisa yang akhirnya sadar, bukan Rendy ini yang dulu pernah membuat ia bingung.

"Waduh Pah liat mantan aja kok lupa ini lho kacau" kata Ranti, yang rasa cemburunya mulai hilang dan malah merasa ingin mencampur kopi Rendi dengan shampo kuda.

"Hehe ya maap Mah, inget sendiri kan separah apa kerusakan otak aku dulu"

"Oh iya Mbak maap yah dia rada-rada gesrek emang otaknya, dulu pas di Finlandia dia kena cedera kepala, sampe koma malah, ingetannya sedikit keganggu jadi aja gini"

"Gesrek ya? Hoalah pantes" kata Atarisa.

"Pantes apa Mbak" kata Ranti.

"Pantes aja dia kalo mau bayar soto babat Kang Suhendar, bayarnya suka pake uang monopoli.

"Wahhh pantesan uang monopoli kita ilang, dibayarin soto babat ternyata nih ama begundal satu ini" kata Ranti, rasa cemburunya sudah hilang karena ternyata hubungan ini salah orang.

Atarisa pun pulang dengan tenang dan tak lupa nastar di tangan. Tapi Ranti akhirnya menyuruh Rendi untuk resign dan pindah kantor yang direkomendasikan oleh suaminya sahabat Ranti semasa kuliah. Kantor itu berlokasi di Malang, jadi mereka pun pindah lagi ke Malang setelahnya. Ini semua dilakukan dengan ikhlas demi kebaikan bersama.

Ah iya, agar tak ingat-ingat lagi dengan Atarisa, Ranti pun menghapus semua chat dengan Atarisa di HP Rendi dengan kontaknya juga. Atarisa pun demikian, chat dan kontak Rendi pun dihapus oleh Ranti. Semua sepakat, semua damai, semua baik-baik saja, terutama buat Ranti karena ia bisa makan nastar sampai mampus.

Ranti pun mulai melupakan kejadian ini dan menjadikannya sebagai pelajaran, sambil berharap penyakit otak Rendi akan kambuh agar ia sekali lagi melupakan Atarisa yang asli. Ranti akhirnya memaafkan Rendi dan segala-galanya karena ia berpikir untuk apa membuat masalah ini semakin runyam kalo semua pihak sudah berdamai?

Ia juga berpikir bahwa disaat Rendi dan Atarisa sudah berdamai dengan berjanji saling melupakan satu sama lain, tugas Ranti hanyalah berdamai dengan diri sendiri. Karena jika tidak ia akan gila sendiri dan mungkin berakhir dengan tinggal bersama kawanan serigala di hutan saking gilanya.

Eh emang di hutan Jawa ada serigala ya? Auk ah.

Begitulah. Intinya, berdamailah dengan diri kita sendiri dan tetaplah bertawakal pada Allah Swt. Maafkanlah sesama karena menurut Ranti tidak ada faedahnya melihat orang lain disiksa di akhirat hanya karena kita tidak memaafkan mereka semasa di dunia. Walau kejadian ini berat buat Ranti, tapi tak apalah, Indomie terakhir yang jatuh ke wastafel waktu tanggal tua itu lebih menyakitkan dari yang Ranti alami.

Eh nteu oge deng hehehe.

Wassalam.

You Might Also Like

1 komentar

  1. KBRI Mogadishu di Mongolia? Mogadishu di Somalia. Ibukota Mongolia itu Ulaanbaatar. Hihihihi...

    BalasHapus