Kisah Kasih di Paduan Suara

Juni 10, 2016

Hardojo terbangun pagi itu dengan semangat yang sama seperti biasanya, pagi itu ia akan mengikuti kelas paduan suara untuk bersama 30 anak usia 10-16 tahun lainnya. Mereka semua disiapkan untuk menyanyikan lagu kebangsaan Belanda dan beberapa lagu lain pada acara perayaan Ulang Tahun Kerajaan Nederland yang ke-128 pada tanggal 17 November 1941 kelak. Acara itu sendiri akan diadakan di Alun-Alun Kota Solo, yang biasanya akan berlangsung meriah dengan kehadiran semua lapisan masyarakat.

Ini adalah kali pertama Hardojo menjadi tim paduan suara untuk acara perayaan Ulang Tahun Kerajaan Nederland. Suaranya yang bagus dan Ayahnya yang memiliki jabatan di Sekolah Van Deventer Solo membuat jalan Hardojo semakin mudah untuk menjadi tim paduan suara tahun ini. Walau ia sudah hampir 17 tahun dan menjadi salah satu yang paling tua, ia tidak merasa malu, ia malah menjadi pemimpin bagi teman-teman pribuminya yang lain, yang rata-rata lebih muda darinya.

Tim paduan suara untuk perayaan ulang tahun Kerajaan Nederland memang biasanya terbagi dua; paduan suara orang-orang Indonesia asli, yang biasanya mereka adalah anak dari Ayah yang bekerja untuk pemerintahan Hindia Belanda atau merupakan keturunan Ningrat. Dan yang kedua adalah paduan suara anak Tuan Nederland Besar, atau setidaknya Staatsblad-Nederlander. Walau latihan mereka terpisah, tapi saat perayaan nanti mereka tetap akan menyanyikan lagu yang sama, "Wilhelmus" sebagai lagu kebangsaan Belanda yang baru diresmikan pada 1932, atau lagu "wien Nederlands Bloed".

Hardojo sendiri bisa mengikuti tim ini setelah ia memaksakan pada Ayahnya agar bisa ikut tim itu, mumpung usianya hanya bisa tahun ini, katanya. Ayahnya yang punya jabatan di Sekolah Van Deventer itu pun mengusulkan pada panitia paduan suara agar mengikutsertakan anaknya. Awalnya panitia yang bernama Ngadiman itu ragu akan kemampuan Hardojo. Tapi setelah ditest ala ala Indonesia Idol versi 1941, ternyata Ngadiman dan kawan-kawan juri menganggap Hardojo punya bakat dan berhak ikut dalam tim paduan suara tahun ini.

Hardojo pun senang bukan main, walau sebenarnya ia punya alasan lain ikut tim ini. Dia ingin terus bersama Helena van Leurman, seorang Belanda tulen yang sebaya dengannya dan Ayahnya merupakan pejabat pemerintahan yang ditempatkan di Solo. Hardojo sebenarnya sudah kenal dengan Helena, saat suatu waktu keluarga Hardojo diundang makan malam di rumah keluarga van Leurman sebagai apresiasi atas kerja baik yang dilakukan oleh Ayah Hardojo. Keluarga van Leurman adalah Belanda yang baik, mereka bercerita saat jamuan makan malam tersebut tanpa ada rasa malu sedang makan dengan warga pribumi yang saat makan sendoknya tak tersentuh dan mengira bahwa air kobokan cuci tangan adalah perasan lemon.

Sebagai orang yang sebaya malam itu, tentu mereka pun mengobrol saat jamuan makan malam itu. Mereka ngobrol soal banyak hal. Kenapa orang Belanda rambutnya pirang, gimana caranya main gasing atau kenapa orang pribumi suka nyolek sambel langsung pake jari tangan. Mereka berbagi bersama, canda tawa bersama, makan bersama. Saat itupun dia tau bahwa Helenalah tulang rusuknya yang selama ini hilang di dasar Bengawan Solo.

Tapi sayang, Hardojo tidak tau bahwa tim paduan suara latihannya dipisah antara primbumi dan Nederland asli.

Ya seenggaknya bisa terus ngeliat Helena kan, pikir Hardojo. Karena lokasi latihan pribumi dan Nederland sebenarnya tidak terlalu jauh, yang membedakan hanya tempat latihan paduan suara orang Nederland ada kipas anginnya dan lampunya pakai yang 15 watt, sementara orang pribumi memakai jendela sebagai alat pendingin dan lampu yang dipakai hanya 10 watt. Sebenarnya lampu tidak terlalu penting karena mereka biasanya selesai latihan jam 3 sore.

Ini sudah masuk bulan ketiga Hardojo dkk mengikuti latihan paduan suara. Semakin lama juga, ia semakin dekat dengan Helena, karena setiap hari Hardojo selalu mengajak Helena pulang bareng, melupakan fakta bahwa jarak rumah Helena ke rumah Hardojo sama dengan jarak BIP ke Gedung Sate di Bandung sini. Tapi Hardojo selalu punya alasan jantan seperti "Oh gapapa kok, ini aku sekalian mau main galah ke rumahnya Sumitro yang deket sini".

Padahal Sumitro adalah tetangganya Hardojo.

Namanya juga cinta.

Tapi ajakan itu tidak selalu diterima oleh Helena. Apalagi jika Stefan, putra Nederland lain yang juga ikut tim paduan suara, mengajak Helena pulang bareng (Stefan baru tetangganya Helena). Ia suka merasa pedih hatinya jika melihat Stefan jalan bareng Helena, apalagi jika Helena tertawa-tertawa riang jika sedang bersama Stefan. Hardojo kurang suka jika ada orang lain yang bisa melakukan apa yang ia bisa lakukan pada Helena.

Tapi, ia tetap sabar. Karena Stefan tampaknya tidak serius menjalin hubungan dengan Helena. Stefan lebih sering pulang naik kereta kuda bareng Natasha, teman paduan suara yang lain.

Apa yang Hardojo suka dari Helena selain kecantikannya adalah karena Helena pintar dan ramah, bahkan kepada bebek sekalipun. Helena yang orang Belanda itu sudah lancar berbahasa Indonesia, walau bahasa Jawanya belum terlalu bagus. Ini menjadi keuntungan sendiri buat Hardojo yang kesulitan belajar bahasa, bahkan lagu Wilhelmus saja baru ia hapal setelah hanya bisa tidur 3 jam setiap harinya selama seminggu. Selain itu, lesung pipit yang Helena miliki membuat Hardojo semakin rela memberikan hatinya untuk Helena yang bagai bidadari.

Hari yang ditunggu pun tiba. 17 November 1941. Alun-Alun Solo. Perayaan Ulang Tahun Kerajaan Nederland yang ke-128. Ia sudah bersiap sejak pukul 8, acara sendiri dimulai pukul 9, dan paduan suara akan bernyanyi lagu kebangsaan 15 menit kemudian.

"Wilhelmus van Nassouwe
ben ik van Duitsen bloed
den vaderland getrouwe
blijk ik tot in den dood
Een Prinse van Oranje
ben ik vrij onverveerd
den Koning van Hispanje
heb ik altijd geëerd"

Hardojo menyanyikannya dengan lancar, walau ia sedikit tidak ikhlas di bagian "ben ik van Duitsen bloed" yang punya arti saya yang berdarah Belanda. Yah, tapi bisa apa dia. Yang penting bisa ngobrol sama Helena sampai mampus.

Setelah acara selesai, ia mendatangi Helena yang sedang duduk sendirian. Jarang-jarang ia melihat Helena duduk sendirian seperti ikan kehilangan kawan atau seperti pujangga kehilangan pena. Hardojo memulai percakapan, rencananya saat itu ia akan menyatakan perasaan pada Helena.

"Helen"

"Oi Har apa kabar"

"Baik kok. Eh tumben duduk-duduk sendiri aja kayak orang jomblo, pulang bareng yuk?"

"Aduh maaf Har tapi Ayah aku bentar lagi jemput nih, dia pake kereta kuda. Lagi ngobrol sama temen-temennya dia kayaknya"

"Yaahh yowis lah, aku balik sendiri aja rapopo wis biyasa"

"Halah jangan sosoan sedih gitu lah, dicakar anak kucing aja kamu nangis kan. Omong-omong suaramu apik loh tadi"

"Hehe makasih Hel, rupamu juga apik kok. Eh, maksudku suaramu juga apik kok"

"Ah bisa aja kamu Har hahaha"

Hati Hardojo sudah meleleh duluan melihat Helena tertawa dengan wajah merah merona.

"Helena"

"Apa Har"

"Aku kayaknya harus dateng ke Mama kamu"

"Loh tumben, mau ngapain to Har"

"Aku mau bilang terima kasih"

"Hah, terima kasih apa deh"

"Terima kasih karena telah melahirkan wanita secantik kamu"

Dan seketika terdengar sayup-sayup suara "Ciecieee" dari kejauhan. Hardojo tidak tau pasti itu siapa tapi sepertinya itu Supangat dan beberapa teman lain. Bocah gendheng. Hardojo pun bersyukur hanya ada suara ciecie, bukan lagu romantis India, karena ia tidak bisa berjoget di pepohonan.

"Haha apasih Har mati aja kamu" kata Helena dengan nada bercanda.

"Eh Helena tapi aku mau ngomong sama kamu"

"Apa lagi"

"Aku sebenernya suka sama kamu"

Suara ciecie semakin menjadi, bukan sayup-sayup lagi tapi sudah seperti di pensi anak sekolahan.

Helena langsung menundukkan wajah, ekspresinya tidak tertebak. Hardojo seketika bingung.

"Kenapa Helena? Aku salah ya"

"Nggak kok Har. Tapi, aduh entah yah gimana ngomongnya.

"Apa Hel, jujur aja, aku kuwat kok"

"Aku juga sebenernya nyaman sama kamu. Kamu baik, jantan, sporty, takwa pula. Tapi sayang aku udah disuruh pulang ke Belanda beberapa hari ke depan. Besok aku berangkat ke Pelabuhan Surabaya, mulai perjalanan ke Amsterdam. Emang sedih sih, tapi, ya namanya juga idup, maaf ya Har. Makasih juga ucapannya" kata Helena sambil terisak.

"Huhu, sedih ya. Tapi ya, gapapa deh, aku cuman bisa mengucapkan selamat tinggal, semoga sukses di Belanda sana. Oh iya, aku mau foto bareng dong sama kamu, biar bisa dimasukkin Instagram pake caption sedih"

"Sekarang kan belum ada HP haduuuhh Hardojo iki cah gendheng sama kayak Supangat" kata Helena dengan sedikit tertawa.

"Oh iya kita kan hidup tahun 1941 ya hahaha yang buat Instagram juga belom lahir kayaknya"

"Iya hahaha dasar cowok dungu"

Seperti kisah sinetron memang, tapi saat itu juga kereta kuda Ayah Helena datang. Helena mengucapkan selamat tinggal pada Hardojo, Ayah Helena juga dadah-dadah sambil tersenyum lucu pada Hardojo, yang tidak tau bahwa hatinya sedang remuk. Tapi Hardojo tetap senyum dan mengucapkan selamat tinggal pada Helena dan Ayahnya. Walau hatinya sedang remuk, lebih remuk daripada melihat Helena pulang bareng Stefan dan lebih remuk daripada melihat kucingnya hamil oleh kucing kampung sebelah.

Tapi ia ingat kata Ayahnya saat salah satu kucing kesayangannya mati; untuk melupakan, kita harus mengikhlaskan.

Yah, namanya juga hidup.

You Might Also Like

0 komentar